Beranda | Artikel
Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?
Senin, 7 Desember 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu? merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 21 Rabiul Akhir 1442 H / 07 Desember 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Pembatal-Pembatal Wudhu

Kajian Tentang Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?

Kita kemarin sudah membahas beberapa masalah yang bisa membatalkan wudhu kita. Di antaranya adalah keluarnya sesuatu dari dua jalan kotoran, yaitu dari qubul dan dubur. Kita juga sudah membahas bahwa keluarnya madzi, wadi, dan mani, itu membatalkan wudhu kita.

Kemudian kita juga sudah membahas tentang tidur. Bahwa tidur bisa membatalkan wudhu, namun tidak semua tidur. Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang nyenyak, tidur yang sudah menjadikan seseorang kehilangan perasaannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, dia tidak merasakan apa yang terjadi di sekitarnya, baik dari sisi suara ataupun dari sisi sentuhan orang terhadap dia. Tidur yang berat, itulah tidur yang membatalkan wudhu. Adapun tidur ringan yang seseorang masih seperti ngantuk, ketika dipanggil ia mendengar panggilan tersebut atau ketika disentuh dengan sentuhan yang ringan dia masih merasakannya. Maka tidur yang seperti ini tidak membatalkan wudhu. Wallahu ta’ala a’lam.

Lihat juga: Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pembatal yang berikutnya, yaitu hilangnya akal.

Hilangnya akal

Hilangnya akal ini membatalkan wudhu. Dan ini sudah disepakati oleh para ulama. Sebagaimana disebutkan Imam Ibnul Mundzir Rahimahullahu Ta’ala. Hilangnya akal bisa terjadi dengan mabuk, bisa terjadi dengan minum-minuman keras atau memakai obat-obatan terlarang sehingga menjadikan akal hilang.

Akal hilang juga bisa dengan pingsan. Ketika seseorang pingsan, maka akalnya hilang. Baik pingsan tersebut disengaja (misalnya ketika dikasih obat bius) atau pingsan tersebut tidak disengaja (kecelakaan kemudian jatuh sampai pingsan), maka pingsan seperti ini membatalkan wudhu seseorang.

Hilangnya akal juga bisa dengan gila. Ketika misalnya seseorang yang asalnya sehat menjadi gila, maka kegilaan itu membatalkan wudhunya dia. Ini sesuatu yang membatalkan wudhu, yaitu hilangnya akal.

Hilangnya akal ini macam-macamnya banyak dan semuanya membatalkan wudhu seseorang. Dan sandarannya (dalilnya) tadi adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama dalam masalah ini.

Menyentuh Zakar atau Farji

Sebenarnya dalam masalah ini ada banyak pendapat di kalangan para ulama. Disebutkan di dalam kitab, ada 4 pendapat; 2 pendapat dasarnya adalah tarjih, 2 pendapat yang lain dasarnya adalah kompromi. Tarjih adalah mengambil salah satu dari dalil yang bertentangan dan meninggalkan yang lain. Sedangkan kompromi itu berusaha untuk mengkompromikan dalil-dalil yang ada tanpa meninggalkan satupun dalil yang terlihat bertentangan.

Ada 4 pendapat dalam masalah ini:

1. Tidak membatalkan wudhu sama sekali

Pendapat yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh farji (yaitu kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita) tidak membatalkan wudhu sama sekali. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala. Ini juga salah satu riwayat dari Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala dan juga diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalil pendapat ini adalah hadits Talq bin ‘Ali, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang orang yang menyentuh zakarnya setelah dia berwudhu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

هَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ

“Bukankah itu salah satu dari bagian tubuhmu?” (HR. An-Nasa’i)

Sebagaimana bagian tubuh yang lain ketika engkau sentuh tidak membatalkan wudhu, begitu pula dengan zakarmu. Karena itu bagian dari tubuhmu, maka dia tidak membatalkan wudhu.

Dalil yang kedua adalah Qiyas. Dan ini hampir sama dengan dalil yang pertama. Karena mereka mengatakan: “Apa bedanya memegang paha dengan memegang kemaluan? Dua-duanya sama-sama anggota badan kita. Sebagaimana memegang paha yang dekat dengan kemaluan itu tidak membatalkan wudhu, begitupula dengan memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu.

Saya katakan bahwa pendalilan ini hampir sama dengan yang ada dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan: “Bukankah itu salah satu dari bagian tubuhmu?” Kalau menyentuh bagian tubuh yang lain tidak ada masalah, begitu pula menyentuh bagian tubuh yang itu.

Ini salah satu pendapat yang mengambil jalan tarjih. Jadi mengambil hadits ini tapi meninggalkan hadits yang lain.

2. Membatalkan wudhu secara mutlak

Ini kebalikan dari pendapat yang pertama. Pendapat pertama mengatakan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, apapun keadaannya. Apakah dengan syahwat, tidak dengan syahwat, itu tidak membatalkan wudhu.

Pendapat yang kedua ini mengatakan membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat, baik disengaja ataupun tanpa disengaja.

Apa dalil dari pendapat ini? Siapa yang mengatakan pendapat ini?

Di antaranya adalah Imam kita, yaitu Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Begitu pula pendapatnya guru beliau, yaitu Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala. Dalam riwayat yang masyhur dari Imam Malik, beliau mengatakan bahwa menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu secara mutlak.

Ini juga pendapatnya zahiriyah, Imam Ibnu Hazm Rahimahullahu Ta’ala. Begitu pula pendapatnya mayoritas sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Para ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadits Busroh binti Shafwan bahwa Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh zakarnya, maka berwudhulah dia.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi)

Dalam riwayat lain:

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh farjinya (kemaluannya), maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)

Ini menunjukkan bahwa berwudhu setelah menyentuh kemaluan itu diwajibkan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan dan pada asalnya perintah itu menunjukkan hukum wajib. Dan di sini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membedakan antara keadaan yang satu dengan keadaan yang lainnya. Sehingga maknanya umum, dalam semua keadaan ketika seseorang menyentuh kemaluannya, maka dia diperintahkan atau diwajibkan untuk berwudhu.

Pendapat yang kedua ini juga merupakan pendapat yang mengambil jalan tarjih, yaitu menggunakan atau mengambil hadits Busrah binti Shafwan dan meninggalkan hadits Talq bin ‘Ali yang dipakai oleh mereka yang berpendapat dengan pendapat yang pertama.

Mereka yang berpendapat dengan pendapat yang kedua ini, mengapa lebih menguatkan hadits Busrah binti Shafwan ini? Mereka menyampaikan banyak alasan. Di antara alasannya yang pertama bahwa hadits Busrah ini sanadnya lebih kuat, maka dia lebih pantas untuk didahulukan. Sedangkan pada hadits Talq bin ‘Ali ada orang yang diperselisihkan derajatnya, yaitu Qais bin Talq. Ada yang melemahkannya, ada yang menguatkan. Sehingga hadits Busrah yang lebih kuat sanadnya itu lebih pantas untuk didahulukan.

Bahkan Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala dalam kitab Al-Majmu’, beliau menyebutkan bahwa para ahli hadits sepakat dalam melemahkan hadits Talq bin ‘Ali. Sehingga tidak pantas untuk dijadikan sebagai pegangan.

Abu Zurah dan Abu Hatim juga demikian, mengatakan bahwa hadits Talq bin ‘Ali itu hadits yang ada illat-nya, ada cacatnya. Sehingga tidak pantas untuk dijadikan sebagai pegangan.

Sekarang tersisa hadits Busrah binti Shafwan yang mengharuskan seseorang untuk berwudhu ketika dia menyentuh kemaluannya.

Kemudian di antara alasan mereka menguatkan hadits Busrah binti Shafwan yang mengharuskan seseorang untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya, mereka mengatakan karena hadits Busrah ini adalah hadits yang menunjukkan hukum baru. Sedangkan hadits Talq bin ‘Ali tidak menunjukkan hukum baru.

Yang dimaksud dengan hukum baru di sini adalah wajibnya berwudhu ketika menyentuh kemaluan. Ini hukum baru yang datang dari syariat Islam. Berbeda dengan hadits Talq bin ‘Ali, tidak ada hukum baru di sana. Karena dikatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudhu sebagaimana menyentuh bagian yang lain. Tidak wajibnya wudhu sudah ada sejak sebelum adanya Islam. Sehingga itu bukan hukum baru. Sedangkan hadits Busrah binti Shafwan datang dengan hukum baru, yaitu wajibnya wudhu setelah menyentuh kemaluan. Dan dalil yang menunjukkan hukum baru itu lebih pantas untuk didahulukan daripada yang lainnya.

Di antara alasan para ulama dalam menguatkan hadits Busrah binti Shafwan adalah bahwa perawi-perawinya lebih banyak dan lebih kuat daripada hadits Talq bin ‘Ali. Ibnu Hazm Rahimahullahu Ta’ala sampai menyebutkan belasan perawi dari sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sama dengan periwayatannya Busrah binti Shafwan. Periwayatan yang menunjukkan bahwa ketika seseorang menyentuh zakarnya maka dia diperintahkan dan diwajibkan untuk berwudhu, ini diriwayatkan dari belasan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga hadits yang menunjukkan wajibnya seseorang untuk berwudhu karena menyentuh kemaluan, itu lebih layak untuk didahulukan.

Pendapat yang kedua ini juga mengatakan bahwa kalaupun hadits Talq bin ‘Ali itu bisa dijadikan sebagai hujjah, maka kita bisa membawa hadits tersebut kepada keadaan ketika seseorang menyentuh kemaluannya ketika ada penghalangnya. Hal ini karena ada riwayat yang mengatakan bahwa hadits Talq bin ‘Ali itu tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukum orang yang menyentuh kemaluannya saat sedang shalat. Dan biasanya orang yang sedang shalat itu menyentuh kemaluannya dari luar pakaiannya, bukan memasukkan tangannya ke kemaluannya secara langsung.

Sehingga kita katakan saja bahwa hadits Talq ini tentang menyentuh kemaluan dari luar pakaian, bukan dari dalam pakaiannya.

3. Menyentuh kemaluan dengan syahwat

Ketika menyentuh kemaluan dengan syahwat, maka itulah yang membatalkan wudhu. Adapun ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat, maka ini tidak membatalkan wudhu. Mereka berusaha mengkompromikan dua hadits yang terlihat bertentangan tadi.

Hadits Talq bin ‘Ali yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudhu, itu ketika menyentuhnya tanpa syahwat. Karena hadits tersebut menjelaskan tentang menyentuh kemaluan ketika dalam shalat. Dan biasanya menyentuh kemaluan ketika sedang shalat itu tanpa syahwat. Seorang ketika shalat biasanya dia fokus untuk beribadah kepada Allah Subhanahu w Ta’ala, sehingga tidak ada syahwat di situ. Maka menyentuh kemaluan tanpa syahwat ini tidak membatalkan wudhu.

Adapun hadits Busrah binti Shafwan itu menjelaskan tentang menyentuh kemaluan ketika ada syahwat. Maka jelas itu membatalkan wudhu. Ini yang disampaikan oleh para ulama yang berpendapat dengan pendapat yang ketiga. Mereka berusaha untuk mengompromikan dua dalil yang terlihat bertentangan tadi.

4. Dianjurkan untuk berwudhu

Perintah yang ada dalam hadits Busrah binti Shafwan yang memerintahkan untuk berwudhu bukanlah perintah yang mewajibkan. Maka mereka megatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudhu, tapi menjadikan seseorang dianjurkan untuk berwudhu.

Mereka berusaha mengkompromikan dua hadits tadi. Hadis Talq bin ‘Ali yang di situ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Bukankah itu bagian dari tubuhmu?” Ini menjelaskan tentang hukum aslinya, bahwa hukum aslinya tidak wajib berwudhu.

Adapun hadits Busrah binti Safwan yang di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyabdakan: “Barangsiapa yang menyentuh zakarnya atau kemaluannya, maka berwudhulah.” Ini perintahnya adalah perintah yang merupakan anjuran, bukan mengharuskan. Dari sini mereka bisa mengkompromikan dua dalil yang terlihat bertentangan tadi.

Mana pendapat yang lebih kuat? Tentunya kalau kita bertanya kepada banyak ulama, maka para ulama berbeda pendapat sebagaimana yang saya sampaikan. Namun yang ana lihat lebih kuat -dan ini bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain- adalah pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Hal ini karena dari sisi sanad hadits Busrah binti Shafwan lebih kuat.

Bagaimana pembahasan selenjutnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download mp3 Kajian Hukum Menyentuh Kemaluan


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49494-apakah-menyentuh-kemaluan-membatalkan-wudhu/